Rabu, 23 Februari 2011

Perpisahan

PERPISAHAN

Anti duduk dengan santai di dalam angkutan umum. Sambil menunggu penumpang lain memenuhi mobil itu, dibukanya sebuah buku. Tentunya bukan buku salah satu Mata Kuliahnya. Tapi … sebuah buku psikologi. Entah sejak kapan kegemaran membaca buku-buku psikologi itu menghinggapi dirinya. Lama juga ia membaca… dan sudah lama pula mobil melaju. Ah, membaca di dalam mobil tidaklah membuat nyaman. Akhirnya, Anti menutup bukunya. Jalanan di jam-jam pulang kuliah seperti ini memang seringkali macet. Anti isengiseng melihat ke luar jendela mobil. Satu-dua buah motor melintas mendahului mobil yang ditumpanginya. Tiba-tiba ada suara motor yang begitu kerasnya. Anti mengerutkan keningnya. Ia lalu melihat ke luar, motor mana kiranya yang sudah membuat kegaduhan itu. Hmm… rupanya motor itu! Motor apapun namanya. Pokoknya yang berwarna perak. Lalu … ada dua huruf di bawah motor itu yang membuatnya tertegun. AD. AD? Itu “menandakan" Solo, bukan? Ah … iya! SOLO. Anti membuang pandangan ke luar kendaraan. Dia tidak ingin mengisi waktu menunggu macet dengan kenangan itu.
Hmm … akhirnya sampai juga Anti di rumah. Setelah perjalanan penuh kemacetan dari kampus, dan perjalanan fikirannya ke masa-masa yang silam. Hari ini hari Sabtu. Hari dimana Anti bisa beristirahat banyak. Hmm… sepertinya fikirannya mesti dibikin santai dulu sebentar.
Hari baru. Ah … hari baru. Sudah lama Anti bangun. Anti memikirkan apa yang mesti ia lakukan hari ini. Lalu Anti pun melihat ke sekeliling kamarnya. KAPAL PECAH!!!!! Seperti itulah keadaan kamar Anti sekarang. Anti geleng-geleng kepala melihatnya. Ya ampun. Kesibukannya beberapa hari terakhir ini membuat dia lupa untuk membereskan kamarnya. Ketika hendak tidurlah baru dia kembali teringat. Ya… Minggu pagi ini, dia mempunyai banyak waktu untuk membereskannya. Cepat-cepat diambilnya sapu. Disapunya lantai kamarnya. Setelah itu, tumpukan buku yang bertebaran di sprei, meja, kursi segera dikumpulkannya. Semua disusunnya dengan rapi. Eh … apa ini di tumpukan buku? Wow! Surprise. Ini surat-surat lamanya. Surat-surat yang diberikan Alif buatnya. Surat-surat yang akan selalu membuatnya tersenyum. Kemudian dia mengambil salah satunya. Anti senang sekali mendapat surat dengan tulisan tangan. Karena, dengan begitu seolah dia merasa sedang ikut menyelami perasaan Si Penulis. Itulah seninya berkirim surat dengan tulisan tangan. IT’S FUN!!!!!

Buat Adik Anti
Di Bandung
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adik Anti yang baik, terimakasih sudah membantu Mas Alif waktu kebingungan di perpustakaan nyari-nyari buku. Hmm … hidup di Negeri Asing memang sulit. Untunglah ada penolong yang baik hati. Gimana, ya …. Mas Alif sudah kesel mencari-cari buku. Namun, di tiap kesulitan itu … selalu ada jalan buat pemecahannya, kok. Pertolongan Allah SWT. Itu sebenarnya selalu dekat. Di saat-saat tidak terduga, dan kadang oleh orang yang tidak disangka. Terimakasih banyak, ya. Cuma satu kalimat yang bisa Mas Alif berikan sebagai balasannya. Jazakumullahu khairan katsiiraa. Ah, Mas Alif benar-benar tertolong waktu itu. Mungkin itu saja, Dik, ya. InsyaAllah, lain kali tak kirimin surat lagi, ya! Ehm! Baru ngetes dulu. Nyampe, ‘kan, ya? I guess that’s all for now. Wish you all the best, Sis!!!!!
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Take care,
ALIF
Ah, surat itu! Surat yang pertama kali didapatkannya dari Alif. Sekitar dua bulan setelah pertemuan singkat di perpustakaan. Surat yang dikirimkan setelah Alif kembali ke Solo, setelah kegiatan studi bandingnya selesai.
Kemudian ingatan Anti kembali menerawang ke peristiwa dua setengah tahun silam tanpa bisa lagi dia tepis.
Uh … hari itu batas peminjaman buku Anti habis sudah. Mana buku dari perpustakaan pusat, lagi. Anti pun harus pergi ke Dipati Ukur. Setelah sampai di sana, ia segera mengembalikan buku yang sudah dipakainya untuk membuat makalah. Anti kemudian berfikir, kenapa juga dia tidak meminjam buku lagi. Segera dia pergi ke salah satu rak di sana. Seperti biasa … rak tempat buku-buku psikologi. Lama juga Anti memilih-milih buku. Sampai tiba-tiba sebuah suara menegurnya dari belakang.
“Dik, maaf mengganggu sebentar”, sapa suara itu. Anti menoleh.
“Ya, Mas … ada apa, ya?” jawab Anti kemudian.
“Maaf, buku-buku kedokteran, ada di sebelah mana, ya?”, tanya seorang laki-laki berkacamata di depannya itu menimpali.
“Oh, rak buku-buku kedokteran dua rak dari sini, Mas”, jawab Anti sambil menunjuk rak yang dimaksud.
“Oh, iya … terimakasih banyak, ya, Dik, ya. Permisi”, jawab laki-laki itu sambil tersenyum.
Anti membalas senyumnya. Untuk kemudian, mereka berdua sibuk dengan bukunya masingmasing.
Selesai sudah Anti dengan pilihan bukunya. Segera ia pergi ke tempat peminjaman buku. Hari itu, tumben-tumbenan ia tidak terus pulang. Ia segera menuju ke ruang baca. Ia berniat untuk menyalin catatan kuliah minggu ini. Dia duduk di kursi paling luar. Tiba-tiba, ada seseorang yang hendak masuk ke arah kursi yang lebih dalam darinya. Anti menyadari hal itu. Tanpa melihat, ia menggeser kursinya ke depan. Sesaat kemudian, orang itu pun duduk di sampingnya.
“Dik, Adik ini orang yang tadi nunjukkin rak buku-buku kedokteran pada saya, bukan?”,
sebuah pertanyaan muncul buat Anti. Anti pun menoleh. Oh … ternyata orang yang tadi nyari
buku kedokteran! Anti kemudian tersenyum. Orang itu pun tersenyum.
“Adik kuliah di sini?”, lanjutnya. Anti mengangguk.
“Maaf, ya, tapi Mas ini kayanya bukan anak kuliahan, deh. Dan saya fikir … Mas juga bukan orang sini. Apa benar?”, tanya Anti beruntun. Yang ditanya kemudian tersenyum.
“Adik benar. Saya sudah bekerja. Saya juga bukan orang sini. Saya orang Solo. Cuma … sekarang saya lagi melakukan tugas dari kantor. Cuma dua minggu, kok, di Bandung.
Hmm … hari ini hari ketiga saya di sini. Bandung itu menyenangkan juga, ya?”, jawab laki-laki itu panjang lebar. Anti tersenyum tersipu mengingat pertanyaannya yang cukup aneh bila
ditanyakan pada orang yang baru saja bertemu.
“Oh … ya … kenalkan … nama saya Khalifah Noor Sucipto. Adik panggil saja Alif!”, kata orang itu kemudian. Anti tersenyum mendengarnya.
“Maaf, Mas, Sucipto itu nama Kakeknya bukan?”, tanya Anti iseng.
“Lha … Adik, kok, tahu? Iya bener itu!”, jawab Alif keheranan.
“Habisnya, ‘kan suka ada orang yang memakaikan nama keluarga gitu, ‘kan, Mas! Tapi, kalau saya, sih, tidak”, tutur Anti.
“Maaf, ya, Dik … Adik ini bikin saya penasaran. Ehmmmmm boleh tahu nama Kakeknya?”, tanya Alif kemudian. Anti kontan saja tertawa kecil mendengarnya. Dia fikir Alif akan menanyakan namanya. Tapi tak urung pertanyaan aneh itu ia jawab juga.
“Faishal, Mas. Nama Kakek saya Faishal”, jawabnya. “Eh, Mas tadi, kok, nyasar. Belum pernah ke perpustakaan pusat ini, ya?”, tanya Anti.
“Belum, tuh. Ke Bandung juga baru dua kali, tiga dengan sekarang dalam seumur hidup.”, Alif tersenyum.
“Eh, nama ………………..”, Alif tidak jadi bertanya. Tiba-tiba hand phonenya berbunyi. Segera ia menjawab panggilan dari hand phonenya. Kemudian ia melirik ke arah Anti. “Wah,
Dik, saya mesti pergi, nih. Makasih, ya, tadi udah nunjukkin tempat bukunya”, kata Alif.
“Assalaamu’alaikum”, kemudian katanya sambil melangkah pergi, sesaat setelah memastikan ada kerudung di kepala Anti.
“Wa’alaikumsalaam warrahmatullah”, jawab Anti. Tak berapa lama setelah Alif pergi… Anti pun pulang. Ah, betapa cepat waktu berlalu setelah itu. Sudah seminggu lebih. Dan buku yang dipinjamnya sudah selesai dibaca. Anti berniat untuk mengembalikannya segera. Setelah buku-buku itu dimasukkan, Anti pun berangkat menuju perpustakaan. Seperti biasa … setelah mengembalikan buku, ia pun menuju rak buku-buku psikologi. Sementara dia sibuk memilihmilih buku, tanpa disadarinya sebuah tatapan berarah dari belakang badannya. Kemudian sosok yang memandangnya itu menghampiri.
“Assalaamu’alaikum”, sapanya. Anti terkejut. Lalu ia menoleh. Sejenak ia terpaku sambil menunjuk. Ah … itu Alif! Alif yang ditemuinya beberapa hari lalu.
“Wa’alaikumsalaam warahmatullah”, jawabnya. Alif tersenyum. “Mas Alif, ‘kan?”, Tanya Anti lagi. Alif mengerutkan keningnya.
“Faishal, ‘kan?”, kata Alif sambil nyengir tidak karuan. Anti merengut. “Maaf, soalnya dulu Adik belum bilang nama Adik ini siapa!”, lanjut Alif dengan rasa bersalah. Anti tersenyum.
“Mas panggil saja saya Anti”, jawabnya kemudian. Setelah itu, pembicaraan-pembicaraan pun berlangsung di antara mereka. Mulai pengalaman Alif sewaktu kuliah di Fakultas Kedokteran di salah satu PTN di Daerah yang jauh lebih ke timur dari Bandung, sampai cerita-cerita Anti tentang Bandung. Dan, ketika Alif dan Anti mesti berlalu dari tempat itu, sebelumnya mereka tukeran alamat email.
Seminggu sekali Anti mencari artikel dari berbagai website sekaligus cek email. Hari Minggu… selalu hari Minggu. Hari Minggu ini pun, jam 11… Anti sudah nongkrong di depan komputer. Sayang… tidak ada artikel baru. Ya sudah, ia pun meneruskan untuk mengecek emailnya. Oh … di INBOX ada 1 surat yang belum terbaca. Anti segera meng-klik tombol INBOXnya. Ada satu nama pengirim yang belum pernah dikenalnya. Alif Lucu. Ya… ampun. Ini siapa? Kemudian, ia pun teringat akan Alif yang dikenalnya di perpustakaan. Anti tersenyum geli. Ia tidak bisa membayangkan Alif yang bertampang serius itu menggunakan nama seperti ini. Kemudian, dengan penuh penasaran, dibukanya email dari Alif.

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adik “Faishal” yang baik afwan, Mas Alif lupa lagi namamu. Waktu nulisin alamat email, Mas Alif lupa nulis namamu. Cuma ditulis alamat emailnya saja. Dan susahnya, nama emailmu itu bukan pakai namamu, ya, Dik? Jadi Mas ‘nggak bisa nebak nama Adik siapa, bagaimana khabarnya? Mas Alif harap saat ini Adik baik-baik saja. Bandung masih suka hujan kayak waktu Mas Alif datang, ‘nggak? Aduh, Mas Alif kangen Bandung, nih. Sayang kegiatan studi bandingnya cuma 2 minggu. Sekarang Mas lagi sibuk di Solo. Ah, sudah dulu, ya. Lain kali tak kirimin email lagi, lho, yo! Udah dulu, deh.
Well … I guess that’s all for now. Wish you all the best sister!
Wassalaam,
ALIF

Anti tersenyum. Dihafalkannya alamat email Alif. Anti tidak suka me-REPLY email. Kecuali kalau sedang marah…. Anti pun kemudian meng-klik tombol COMPOSE.

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Mas Alif yang juga baik …. Ini ANTI. Alhamdulillah, saat ini Anti baik-baik saja. Semoga Mas juga begitu. Selalu berada dalam keadaan yang terbaik, dalam lindungan Allah SWT. Amiiiiiiin. Mas lagi sibuk, ya? Hmm … good luck aja sama semua kegiatannya, ya. Ya sudah, ya. Lain kali Anti kirimin email lagi. Udah adzan dzuhur.
Wassalaamu’alaikum wr. Wb.
ANTI

Hmm … SEND!!!!!
Beberapa hari pun berlalu. Tujuh hari … seminggu, ya? Email kedua yang sudah beberapa hari sebelumnya sampai kemudian dibaca oleh Anti.

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adik Anti ……………….
Kaifa Haluk . ……………….?
Waduh, Alhamdulillah Adik Anti tidak marah sama Mas Alif. Namamu bagus juga, ya. Ngomong-ngomong, punya nama seperti itu, Adik seneng main bulutangkis, tidak? Hayo, gimana kuliahmu? Baik? Cepet selesaiin, ya. Seneng, lho, kalau sudah kelar. Pokoknya satu perjuangan sudah terlampaui. Ayo … semangat! Mas Alif cuma bisa ngedo’ain dari Solo, nih.
Well … I guess that’s all for now. Wish you all the best, Sister.
Wassalaam,
ALIF

Anti tersenyum. Ah, Alif ini. Apakah semua orang yang bernama Susanti mesti senang bulutangkis?
COMPOSE!

Assalaamu’alaikum wr. wb.
For Mas Alif ….
Hmm … bi khairin walhamdulillaah …. (tidak boleh nanya pakai Bahasa Arab lagi!!!!!
Soalnya yang Anti tahu cuma segitu-gitunya! Awas, lho) …. Anti harap saat ini Mas juga baikbaik saja. Itu nanyain kuliah, mau memberi semangat atau ngeledekin Anti, Mas? Hmm… perjuangan Anti masih panjang, nih. Do’ain saja, Mas, ya ….! Ya sudah dulu, deh, ya….
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
From your little sister … Anti ….
NB: Anti ‘nggak seneng olah raga apapun!!!!!
SEND!

Beberapa waktu berlalu. Berbagai email pun sudah banyak mengisi email Anti. Tidak hanya sekedar basa-basi dan ber-say-hai ria. Artikel, jurnal, diskusi, resensi buku bahkan acara berantem dengan Alif ada di sana. Kalau yang itu … itu akibat dari mereka saling memberikan nomor telfon. Sampai suatu hari …. INBOX

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adik Anti …………………..
Manusia tercipta dengan berbagai rasa. Berbagai rasa yang terukir dalam keindahan jiwa. Dan cinta … ialah salah satu yang bersemayam di dalamnya. Bilakah cinta itu menjelma? Seseorang yang telah mendapatkannya pasti tahu. Cinta bukanlah kata yang bisa dengan begitu saja terungkap dalam makna. Namun cinta adalah rasa yang bisa begitu saja didapatkan. Bersyukurlah orang-orang yang sadar akan cinta ketika mereka mendapatkannya. Bersyukurlah orang-orang yang bisa mengakui keberadaannya. Dan cinta… itulah yang Mas Alif rasakan sekarang ini. Rasa yang menjelma, yang akhirnya Mas Alif sadari sebagai bagian makna Adik dalam hidup Mas Alif. Izinkan Mas Alif mencoba menempatkannya dengan semestinya. Izinkan Mas Alif mencoba menjalinkannya dalam kebaikan. Bila Adik berkenan, maukah Adik menjalani suatu proses agar kita saling mengenal? Maukah Adik mengizinkan hati kita saling berharap agar kita bisa menjalani sisa
hidup kita di dalam kebaikan bersama-sama?
Satu harapan yang tersimpan dalam hati Mas Alif ……………. Semoga Allah mengizinkan Adik menjadi Adinda yang akan menjadi Huriyah abadi belahan jiwa Mas Alif di dunia dan akhirat. Maaf kalau Mas Alif terlalu lancang. Namun … harap Adik sudi memikirkannya. Silahkan Adik shalat istikharah dulu. Dan kalau menolak, itu hak Adik. Tapi tolong, jangan ngasih alasan karena masih kuliah. Mas Alif siap menunggu …………………………………..
Well … I guess that’s all. Wish you all the best ……………………
Wassalaam,
ALIF

Anti terhenyak. Tanpa ada COMPOSE, hari itu emailnya langsung ditutup. Beberapa hari sudah ia merenung. Beberapa hari sudah ia mencoba menyelami isi hatinya. Beberapa kali ia memohon petunjuk untuk apa yang ingin dilakukannya. Sampai akhirnya …. COMPOSE!

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai rasa. Seperti rasa cinta. Rasa itu … rasa yang sepertinya telah hadir di kedalaman jiwa. Tiada yang salah dengan cinta. Kesalahan mungkin terjadi dalam sebuah penyikapan. Kalaulah suatu penyikapan berupa itikad baik untuk berta’aruf dan melanjutkan ke jenjang pernikahan … tiada kesalahan di sana. Kalaulah ada niat untuk lebih menjaga hati … tidak ada kesalahan di sana.
Mas Alif … Anti bukanlah Huriyah yang begitu suci, dengan pengabdian kepada Allah yang tiada ternoda. Namun, sekiranya Allah mengizinkan, semoga Anti bisa menjadi Adinda yang menjadi penyejuk jiwa.
Wassalaamu’alaikum wr. Wb.
ANTI
NB: Mas, huriyah itu artinya bidadari, ‘kan? Ngomong-ngomong, Anti seneng kalau nanti punya suami yang bisa ngajarin Bahasa Arab. Habis, Bahasa Arab Anti kacau–balau banget!!!!!
SEND!

Dan semingu kemudian, sebuah kiriman datang buat Anti. Tapi kali ini namanya FAISHAL
ALIF.
INBOX.

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adinda ……………………………..
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin …………………………. Eh, kalau Mas Alif nanti punya anak laki-laki, mau dinamain Faishal Alif, ah. LAKI-LAKI MENANTI BIDADARI
Seorang laki-laki ….
Berjalan menapaki waktu
Melalui dentingan hari
Untuk tujuan hidup yang telah ditentu
Ya … Rabb ….
Hidup … hidupku adalah perjuanganku ….
Dengan tak berteman aku berjalan ke arah-Mu
Adakah Engkau mengizinkan aku tak sendiri?
Temukanlah aku ….
Dengan seorang yang juga melangkah ke arah-Mu
Adinda … yang dinanti ….
Semoga ia adalah Adik Anti …..
(E … ehhh Mas Alif salah nulis)
Adinda yang dinanti ….
Itulah ia bidadari penyejuk hati
[KNS_MAR_2000]
Wassalaam,
ALIF

NB: Wah, ingin punya suami yang bisa Bahasa Arab, ya? Hmm … Mas Alif, sih, tahunya sedikit. Kalau punya suami yang bisa Bahasa Jawa, mau? Kalau diajarinnya Bahasa Jawa, mau? Dik, sama suami yang bisa ngajarin Bahasa Jawa aja, ya. Terus nanti kita kursus Bahasa Arab bareng-bareng, deh. Nanti biaya kursusnya tak bayarin, kok!

Anti tersenyum. Pipinya memerah. Lama setelah itu banyak harapan yang tercipta. Banyak kebaikan yang dicoba dijalinkan. Sebuah pertautan pun direntangkan. Bukan Cuma dua orang. Tetapi dua keluarga.
Anti melipat surat pertama dan mengambil surat kedua Alif yang masih terlipat dengan rapi. Ah, surat yang didapatkannya bukan hanya itu. Masih ada lagi yang lainnya.

Buat Adinda
Di Bandung
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adinda ………………….
Bagaimana khabarnya, nih? Semoga saat ini Adinda berada dalam keadaan terbaik… dalam lindungan Allah SWT. selalu. Alhamdulillah, Mas Alif di Solo baik-baik saja. Dan Mas Alif yakin Adinda pasti baik-baik juga. Bagaimana tidak, sebentar lagi ulang tahun, bukan? Sengaja Mas kirimin surat beberapa hari sebelum hari ulang tahun Adinda. Mudah-mudahan sampai tepat pas hari ulang tahunnya. Ah, sebelumnya pun tidak apa-apa. Asalkan bukan setelahnya.
Mas Alif tidak bisa ngasih apa-apa, nih. Mas Alif cuma bisa ngasih do’a. Semoga kebahagiaan selalu berada berdekatan dengan Adinda. Semoga apa yang telah, sedang dan akan Adinda jalani selalu diberi kemudahan dan diridhoi oleh Allah. Amiiiiin.
Semoga Adinda tidak pernah gentar untuk menghadapi kehidupan ini. Begitu banyak memang hal yang mesti dihadapi. Terkadang, tidak semuanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Namun Adinda mesti tahu … semua kesulitan hidup … semua akan menempa jiwa kita, membuat kita lebih kuat, dan membuat kita lebih baik lagi. Bersabarlah menempuhi kesulitan hidup. Tekunlah dalam memperjuangkan harapan dalam hidup. Jadikanlah setiap hembusan nafas dalam hidup kita adalah perjuangan. Jadikanlah setiap deraian nafas dalam
hidup kita adalah untaian do’a.
Eh, kemaren Mas Alif jalan-jalan. Terus, Mas Alif lihat ada kerudung lucu. Warnanya seperti warna kesukaan Adinda. Warna CYAN … warna biru langit. Mudah-mudahan Adinda suka.
Sudah dulu, ya. SELAMAT ULANG TAHUN. Wish your life will always be surrounded by
happiness. Well … I guess that’s all. Wish you all the best, Adinda!
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Take care,
ALIF

NB: InsyaAllah, minggu depan Mas Alif datang ke Bandung. Nanti kalau jadi tak telfon, deh.

Anti ingat surat itu. Surat yang terselip di antara lipatan kerudung berwarna biru langit yang dipaketkan Alif. Suatu hadiah ulang tahun yang indah…. Semua kisah dengan Alif tidak hanya kisah baiknya saja. Kadang mereka juga berantem. Mulai dari berantem karena pembicaraan di telfon yang bikin mereka salah faham, belum lagi, Anti yang manja terkadang suka ngadat karena hal sepele saja dari Alif. Alif itu ternyata wataknya memang keras. Bicaranya terperinci, langsung kepada maksud, kadang ketus. Yang terjadi kemudian selalu sama. Telfon yang berdering jam setengah 10 malam buat Anti. Seperti satu malam itu…. Telfon berdering. Jam setengah 10 malam. Anti tahu siapa yang menelfon. ALIF!!!!! Dengan enggan ia mendekati telfon itu.
“Assalaamu’alaikum,” terdengar suara Alif di seberang sana.
“Wa’alaikumsalaam warrahmatullah”, jawab Anti.
“Dik, kamu kok lemes gitu? Udah tidur, ya?”, kata Alif. Hening …. “Ha … hal loo ….! Dik….?’” terdengar suara Alif yang bergetar.
“Mas, Aku ‘nggak budek, kok. Aku denger”, kata Anti. Alif tergelak mendengar katakatanya.
Anti manyun. Ya ampun … kenapa juga Alif ini. Orang dia sedang marah-marah malahan ditertawakan. Dengan bijaksana, kemudian Alif mulai berbicara. Dia meminta Anti untuk mendengarkan penjelasan tentang semua yang sudah bikin mereka salah faham. Dan kemudian Alif meminta Anti buat mengatakan hal apa yang bikin dia merasa tidak enak. Akhirnya selesai juga. Terkadang, pemecahan dari permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan dengan suatu pembicaraan. Cuma, mestinya tidak didasari dengan emosi yang meledak-ledak, dan tidak boleh ada keegoisan. Dan terkadang, walaupun sangat sulit, kita mesti mencoba untuk mengambil cara fikir lawan bicara kita. Masih ada satu surat lagi! Surat terakhir dari Alif ….
Buat Adinda
Di Bandung
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Adinda …………………….
Adinda yang baik, semoga senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT. Amiiiin.
Terimakasih sudah mau mengantar Mas Alif ke Palasari. Ternyata Adinda memang cukup aneh. He … he … he ….! Orang lain kalau jalan-jalan itu mbok ya ke taman, ke pusat perbelanjaan … lha Adinda ngajakin Mas Alif ke toko buku. Tapi … bagus juga. Dannnnn, terimakasih tidak bikin Mas Alif nyasar. Alhamdulillah.
Jangan-jangan Adinda ngajakin Mas Alif ke Palasari, karena itu “medan” yang paling dikuasai, ya? Memang, sih, alangkah baiknya kalau sebelum mengerjakan sesuatu, kita perhitungkan dulu berbagai macam kemungkinan, cara yang akan dilakukan dan baik buruknya. Dan,
karena Adinda nyadar kalau Adinda orangnya “buta” arah, bagus Adinda ngajakin Mas Alif ke sana. Jadi tidak bikin kita semua nyasar. He … he … he …. Ampun, yo, jangan ngambek!!!!!
Hmm … I guess that’s all. Wish you all the best, Adinda ….
Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Take care,
ALIF

NB: Eh, salam buat Adiknya Adinda yang ikut nganter itu, ya! Alhamdulillah … jadi tidak bikin acara ketemunya gagal. Pokoknya bilang makasih banget, mau nganterin. Salam juga buat Bapak sama Mama, ya. Bilangin, ada salam dari Abi sama Ummi Mas Alif buat keluarga Adinda. InsyaAllah … nanti Mas Alif datang ditemani keluarga Mas Alif dalam waktu dekat. Adinda, rasanya tidak baik juga kalau kita menunda-nuda suatu hal yang lebih baik disegerakan. Dua bulan lagi, ya ….?

Ah, setelah surat terakhir itu, berakhir pula banyak hal. Segera Anti melipat semua suratnya. Lalu disimpan di atas meja belajarnya. Waktu dua bulan itu dinantikannya dengan penuh harap dan sukacita. Tapi seminggu… tidak ada khabar. Dua minggu … Anti masih menanti …. Tiga minggu … ada apa ini? Hingga akhirnya Anti memutuskan untuk menelfon ke Solo. Berawal kode 0271 itulah Anti membuka sebuah hubungan telfon.
“Assalaamu’alaikum,” kata Anti ketika di seberang sana terdengar suara tersambung.
“Wa’alaikumsalaam,” terdengar suara lembut di telinga Anti. “Anti, ini? Apa khabar,
‘Nduk?” kata Si Empunya suara.
“Ummi? Alhamdulillah, Anti baik. Ummi bagaimana?”, tanya Anti. Sedikit tenang ia mendengar kelembutan suara itu. Namun … tak berapa lama kemudian terdengar isak tangis
“Ummi”. Anti keheranan. “Ummi, ada apa?”, Anti mulai gelisah. Perasaannya tidak enak. Ia langsung teringat untuk menanyakan Alif. “Ummi, bagaimana khabar Mas Alif? Baik-baikkah? Atau lagi sibuk, ya? Sudah lama Anti tidak mendengar khabar dari Mas Alif”, kata Anti. Ummi makin keras menangis. Sampai akhirnya Ummi terdengar berlari menjauhi telfon. Anti kebingungan. Cukup lama sepertinya telfon itu tergantung begitu saja.
“Halo, siapa ini?” sebuah suara keras terdengar. Oh … “Abi”!
Anti menjawab, “Ini Anti, Abi!”
“Kamu, tho, ‘Nduk? Gimana khabar kamu sekarang?”, suara itu terdengar melembut.
“Alhamdulillah, Anti baik. Abi sekeluarga bagaimana?”, jawabnya. Keheningan … terjadi keheningan untuk beberapa saat.
“’Nduk, maafkan Abi. Tapi, biar bagaimanapun kamu mesti tahu. Maafkan kami yang menyembunyikan hal ini dari kamu”, kata Abi. Ah … keheningan itu lagi!!!!! Anti tidak tahan.
“Abi … kalau ada yang mesti disampaikan untuk kebaikan, sampaikanlah. Anti siap mendengar apapun …..!”, tutur Anti dengan suara bergetar.
“’Nduk … tabah, ya. Kita semua sedang diberi cobaan yang begitu berat dari Allah. Kita semua kehilangan Alif … dia ….” sesaat suara yang perlahan menjadi parau itu berhenti berucap … “Alif kecelakaan, ‘Nduk. Nyawanya tidak tertolong”, tuntas sudah beban penjelasan yang harus diucapkan kepada Anti itu terlontar.
Ah … Anti tidak pernah mempercayai semua itu. TIDAK! Sampai berbulan-bulan sesudah
itu pun… tidak. Mengapa harus kehilangan orang yang disayangi? Kenapa yang disayangi itu
pergi? TIDAK MUNGKIN!!!!! Terlalu banyak liku-liku hidup yang tidak bisa dijelaskan…. Tapi itu sudah lebih dari satu setengah tahun lalu. Dan setelah itu, berbagai kehilangan pun masih terjadi. Ah, Anti sudah tertempa. Dan kini … ia termenung di dalam angkutan umum. Ya … Rabb, bagitu banyak hal yang Engkau berikan buat Anti. Semoga Anti selalu bisa mendapatkan kebaikan dari semua itu. Sebuah do’a terlantun.
Ah, mengingat Alif membuat Anti mengingat cita-cita Alif yang pernah dikatakan padanya….
Ah, mungkin kalau punya anak laki-laki diberi nama FAISHAL ALIF bagus juga ….
Anti telah banyak berharap. Begitu juga Alif, tentunya. Satu hal yang kemudian menyembuhkan semua duka Anti. Satu hal …. Satu hal yang selalu diucapkan di akhir do’anya ketika selesai shalat dan berdo’a. “Ya … Rabb … Engkau Maha Tahu apa yang hamba inginkan. Namun Ya Rabb … Engkau Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba.
Jadikanlah hamba seorang yang tidak pernah putus asa mengusahakan bukan hanya hal-hal yang baik dalam hidup, tapi mengusahakan yang terbaik. Ya … Rabb … semoga Engkau selalu meridhoi apa yang telah, sedang dan akan hamba kerjakan. Semoga Engkau pun senantiasa memberi kemudahan. Lalu, apapun keputusan yang Engkau berikan sebagai jalan yang mesti hamba tempuhi … Ya Allah … jadikanlah hamba sebagai orang yang ikhlas menerima semua itu.”
Anti menyimpan semua surat dan pemberian Alif kembali dengan rapi, Biarlah semua jadi kenangan. Hal apa, ya, yang paling menyenangkan yang dialaminya selama mengenal Alif?
Ada satu hal, yaitu ketika Alif datang dari Solo beberapa hari setelah ulang tahunnya. Seperti yang dijanjikan dalam suratnya, Alif menelfon Anti. Alif mengatakan kalau dia akan datang ke Bandung. Kemudian, Anti mengatakan, kalau Adiknya mau nganterin, dia mau pergi menemui Alif. Tentunya … di tempat pertama kali mereka bertemu. Perpustakaan!
Dan pada pagi yang dijanjikan, Alif, Anti dan Adik Anti akhirnya bisa bertemu. Mereka pergi ke Palasari. Lama juga mereka bertiga berkeliaran di sana. Sampai akhirnya, mereka memutuskan buat pulang. Di dalam mobil, Anti sesekali memandang keluar. Alif memperhatikan tingkah Anti itu lewat kaca spion.
“Dik, ada apa, sih?”, tanya Alif sambil ikut memandang keluar. Begitu juga Mahendra, Adik Anti yang duduk di depan, di sebelah Alif. Ia ikut melihat keluar. Anti tersenyum.“Anti lagi lihat langit, Mas. kayanya bentar lagi hujan, deh!”, lanjutnya. Untuk beberapa saat, tercipta keheningan di antara ketiga orang itu. “Ah, hujan itu mengingatkan Anti sama beberapa hal, Mas”, sambung Anti lagi.
“Mengingatkan sama apa, Dik?”, tanya Alif. Sementara Mahendra melirik ke belakang ke arah Anti.
“Mas, coba perhatikan, deh. Banyak kejadian unik, lho, kalau hujan”, kata Anti lagi.
“Apaan, sih, Dik? Adik bikin Mas penasaran. Ayo, dong, bilang!”, paksa Alif kemudian. Anti tersenyum. Kemudian, dia pun mulai berbicara tentang semua yang menarik baginya.
“Mas, terkadang, kalau hari akan hujan, kita bisa melihat dan merasakan tahapan perubahan yang terjadi. Mulai dari udara yang perlahan berganti, keadaan langit yang asalnya terang, cerah, menjadi kian gelap, lalu angin yang berhembus, awalnya cuma desiran-desiran lembut. Tetapi, kian lama angin kian kencang berhembus. Membuat kita menggigil. Namun, tidak jarang pula hujan tanpa diduga turun begitu mendadak langsung tercurah demikian derasnya. Ataupun, hujan turun di saat hari sedang cerah”, tutur Anti. Alif tersenyum mendengarkan penuturan Anti.
Ayo cerita lagi! Eh?”, Alif membujuk.
“Ya … itu. Kadang, hal itu bisa kita analogikan dengan kehidupan, lho, Mas!”, ungkap Anti.
“Wadduhh … apa pula ini?”, goda Alif kemudian.
“Aaaaaah. Ya udah, ah. Udahan”, kata Anti.
“Ye … kamu ini mudah ngamuk-ngamuk gitu, lho. Ayo terusin. Mas Alif mau dengerin lagi, nih. Ayo, dong!”, kata Alif lagi. Sementara itu Mahendra cuma tersenyum simpul melihat mereka berdua.
“Hmm … Mas Alif rupanya baru tahu, ya, kalau Tétéh suka ngadat. Waaaaah, Mas terlalu berbaik sangka, lho. Hati-hati”, tutur Mahendra kemudian. Anti melotot, sementara Alif berusaha keras menyembunyikan senyumnya.
“Uh! Giniiiiiiii. Terkadang, hal itu bisa kita bandingkan dengan hidup kita, lho. Terkadang, ada saatnya kita merasa betapa hidup kita makin lama makin terjerat dengan berbagai macam hal yang membuatnya berubah ke arah yang kurang bahkan tidak diinginkan. Mungkin berupa kedukaan, ketidak berdayaan … ah … banyak hal. Terkadang, selain dapat melihat dan merasakan proses perubahan tersebut, terkadang kita juga mendapatkan berbagai hal tersebut, secara drastis makin membesar. Dan di saat lain, terkadang semua hal itu datang di saat yang tidak terduga, datang di saat kita merasa bahagia … dan perubahan itu begitu saja menyelingi hidup kita. Iya, ‘nggak, Mas?”, tanya Anti kemudian. Alif tersenyum. Sambil tetap berkonsentrasi pada jalan, dia menjawab pertanyaan Anti.
“Kamu benar, Dik! Benar sekali,” katanya. “Mau tahu lagi selain itu?”, tanyanya kemudian. Anti mendongak.
“Memang ada apa, Mas? Kasih tahu Anti, dong.”, katanya lagi.
“Dik, terkadang turunnya hujan itu juga berbeda, lho.Terkadang, hujan yang turun hanya berupa rintik-rintik, sesaat turun dan sesaat kemudian berhenti tercurah. Namun terkadang hujan turun begitu derasnya … dan begitu lama. Sampai-sampai timbul pertanyaan tentang kapankah hujan akan berhenti tercurah. Begitu juga dengan kehidupan kita!”, kata Alif lagi.
“Lho … apa itu, Mas? Maksudnya …?”, tanya Anti sambil mengerutkan keningnya. Alif melanjutkan penjelasannya, “Ya itu … terkadang kesulitan … kedukaan dan berbagai hal yang tidak menyenangkan tadi datang hanya sebentar saja. Tidak memberi pengaruh yang terlalu besar buat kita. Namun terkadang, semua itu begitu susah pergi dari kehidupan kita. Sehingga bisa menyebabkan kita berputus asa, dan berkata bilakah semua ini berakhir.”
“Mas benar. Dan Anti fikir, dampaknya pun pada tiap orang berbeda-beda. Kalau sama orang yang ‘nggak kuat bagaimana? Kemampuan tiap orang ‘kan berbeda-beda dalam menyikapinya. Selain itu, latar belakang, jenis permasalahannya pun mesti dipertimbangkan juga, bukan?” tanya Anti lagi.
“Mmmmm … Adik tahu … memang sulit untuk melihat hikmah di balik suatu kejadian yang tidak diinginkan. Namun, setidaknya, hal itulah yang bisa kita lakukan. Coba Adik lihat kalau hujan turun di tengah-tengah hari yang masih benderang. Kadang hanya turun sesaat, untuk kemudian kembali menghilang dengan meninggalkan kecerahan matahari. Terkadang, hujan seperti itu juga meninggalkan pelangi di satu sisi langit, bukan? Seperti itu juga. Dalam keadaan yang sedang menyenangkan, tiba-tiba ada sedikit kesulitan. Tidak mengapa. Anggap
saja variasi hidup kita. Mungkin untuk mengingatkan, betapa besar nikmat yang sedang kita dapatkan. Terselipnya sedikit kesulitan, anggap saja sebagai suatu peringatan untuk kita agar tidak lupa bersyukur. Kita tidak akan tahu kapan nikmat yang kita rasakan tercabut dari kita. Anggap saja peringatan bahwa kita tidak boleh begitu terlenanya dengan kehidupan dunia”, kata Alif panjang lebar. Anti merenung. Begitu juga Mahendra.
“Lalu … kesulitan-kesulitan yang begitu besar … yang membuat kita hampir lumpuh menjalani hidup, hal itu tidak boleh hanya disesalkan saja. Tidak boleh hanya diratapi saja. Kesulitan … kedukaan itu tidak selamanya menghasilkan segala hal yang tidak baik, kok. Lihatlah, kalau setelah turun hujan. Coba Adik lihat rumput dan dedaunan. Betapa butiran air
hujan akan membuat rumput dan dedaunan tampak berkilauan. Tampak lebih segar, dan tumbuhan yang hampir mati, mempunyai sedikit kekuatan kembali buat melanjutkan hidupnya.
Hujan juga terkadang menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin tidak sekarang, tapi di masa yang akan datang. Kesulitan itu apa, sih? Terus terang memang hal yang tidak diinginkan. Kedukaan pun apa, sih? Tentu saja hal yang tidak diharapkan. namun ada kalanya semua itu mesti kita jelang juga. Tidak ada hal yang tercipta dengan sia-sia. InsyaAllah. Adik tahu, sebenarnya kesulitan dan kedukaan itu bermanfaat juga. Dengan hal itu, kita menjadi tertempa. Kita dipaksa untuk mengeluarkan seluruh kemampuan, potensi, cara bersikap, penyesuaian sifat untuk menghadapi dan mengatasi serta memperbaiki keadaan. Di sanalah proses kedewasaan dimulai. Di sanalah penumbuhan kekuatan diri terbina” lanjut Alif.
Ah … kata-kata itu. Rasanya masih baru saja didengarkan oleh Anti, dan terlontarkan dari bibir Alif. Kata-kata itu yang membuatnya sedikit demi sedikit bangkit mengatasi kedukaan. Kata-kata yang masih tersimpan rapi dalam diarynya. Segera Anti menuju ke lemari bukunya.
Dicarinya buku harian dua tahun lalu itu. Ada! Lalu, dibukanya lembaran demi lembaran. Sampai akhirnya, ditemukannya satu lembaran yang begitu berkesan buat Anti.

Hujan ….
Betapa ia memberi banyak pelajaran bagi kita. Terkadang, kalau hari akan hujan, kita bisa melihat dan merasakan tahapan perubahan yang terjadi. Mulai dari udara yang perlahan berganti, keadaan langit yang asalnya terang, cerah, menjadi kian gelap, lalu angin yang berhembus, awalnya cuma desiran-desiran lembut. Tetapi, kian lama angin kian kencang berhembus. Membuat kita menggigil. Namun, tidak jarang pula hujan tanpa diduga turun begitu mendadak langsung tercurah demikian derasnya. Ataupun, hujan turun di saat hari sedang cerah. Terkadang, ada saatnya kita merasa betapa hidup kita makin lama makin terjerat dengan berbagai macam hal yang membuatnya berubah ke arah yang kurang bahkan tidak diinginkan. Mungkin berupa kedukaan, ketidak berdayaan … ah … banyak hal.
Terkadang, selain dapat melihat dan merasakan proses perubahan tersebut, terkadang kita juga mendapatkan berbagai hal tersebut, secara drastis makin membesar. Dan di saat lain, terkadang semua hal itu datang di saat yang tidak terduga, datang di saat kita merasa bahagia… dan perubahan itu begitu saja menyelingi hidup kita.
Terkadang turunnya hujan itu juga berbeda.Terkadang, hujan yang turun hanya berupa rintik-rintik, sesaat turun dan sesaat kemudian berhenti tercurah. Namun terkadang hujan turun begitu derasnya … dan begitu lama. Sampai-sampai timbul pertanyaan tentang kapankah hujan akan berhenti tercurah. Begitu juga dengan kehidupan kita terkadang kesulitan… kedukaan dan berbagai hal yang tidak menyenangkan tadi datang hanya sebentar saja. Tidak memberi pengaruh yang terlalu besar buat kita. Namun terkadang, semua itu begitu susah pergi dari kehidupan kita. Sehingga bisa menyebabkan kita berputus asa, dan berkata bilakah semua ini berakhir. Memang sulit untuk melihat hikmah di balik suatu kejadian yang tidak diinginkan. Namun, setidaknya, hal itulah yang bisa kita lakukan.
Lihatlah kalau hujan turun di tengah-tengah hari yang masih benderang. Kadang hanya turun sesaat, untuk kemudian kembali menghilang dengan meninggalkan kecerahan matahari.
Terkadang, hujan seperti itu juga meninggalkan pelangi di satu sisi langit, bukan? Seperti itu juga. Dalam keadaan yang sedang menyenangkan, tiba-tiba ada sedikit kesulitan. Tidak mengapa. Anggap saja variasi hidup kita. Mungkin untuk mengingatkan, betapa besar nikmat yang sedang kita dapatkan. Terselipnya sedikit kesulitan, anggap saja sebagai suatu peringatan untuk kita agar tidak lupa bersyukur. Kita tidak akan tahu kapan nikmat yang kita rasakan tercabut dari kita. Anggap saja peringatan bahwa kita tidak boleh begitu terlenanya dengan kehidupan dunia Lalu … kesulitan-kesulitan yang begitu besar … yang membuat kita hampir lumpuh menjalani hidup, hal itu tidak boleh hanya disesalkan saja. Tidak boleh hanya diratapi saja. Kesulitan … kedukaan itu tidak selamanya menghasilkan segala hal yang tidak baik.
Lihatlah, kalau setelah turun hujan. Lihatlah rumput dan dedaunan. Betapa butiran air hujan akan membuat rumput dan dedaunan tampak berkilauan. Tampak lebih segar, dan tumbuhan yang hampir mati, mempunyai sedikit kekuatan kembali buat melanjutkan hidupnya.
Hujan juga terkadang menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin tidak sekarang, tapi di masa yang akan datang. Kesulitan itu apa? Terus terang memang hal yang tidak diinginkan.
Kedukaan pun apa? Tentu saja hal yang tidak diharapkan. Namun ada kalanya semua itu mesti kita jelang juga. Tidak ada hal yang tercipta dengan sia-sia. InsyaAllah. Sebenarnya kesulitan dan kedukaan itu bermanfaat juga. Dengan hal itu, kita menjadi tertempa. Kita dipaksa untuk mengeluarkan seluruh kemampuan, potensi, cara bersikap, penyesuaian sifat untuk menghadapi dan mengatasi serta memperbaiki keadaan. Di sanalah proses kedewasaan dimulai. Di sanalah penumbuhan kekuatan diri terbina. Janganlah sampai semua itu membuat kita lupa, terpaku, dan terhenti untuk melanjutkan hidup….
HIDUP
Hidup …. Tiada sebatas pemberian kehidupan
Hiduplah … untuk hidup dan memperjuangkan kehidupan itu sendiri …
Hiduplah … dengan penuh hidup
Hingga hidup … terasa lebih hidup ….
Hmm … banyak hal yang terjadi dengan Alif. Alif telah mengisi satu penggalan kisah hidup Anti. Namun … Alif sudah tidak ada lagi. Dan Anti ….? Anti mesti kembali melanjutkan hidupnya.

Kamis, 10 Februari 2011

Dimas Al-Maduri: Novel : Di Atas Sejadah CInta

Dimas Al-Maduri: Novel : Di Atas Sejadah CInta

Novel : Di Atas Sejadah CInta

DI ATAS SAJADAH CINTA

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagaian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Diserambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang‐orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudznnya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala‐yala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci. Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis, “fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha…” (maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya ….)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari‐nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syairsyair cinta, “in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq …” (jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya1 dan cinta yang mekar …)
***
Gadis itu terus manari‐nari dengan riangnya. Hatinya berbunga‐bunga. Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,”Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku
berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu ?”
“Tak perlu ! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi ileh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be … benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia‐siakan kesempatan ini, Yasir !”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduannya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir, “Apakah And punya waktu malam ini bersamaku?” Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun korma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Tolong ! Tolong !!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Tolong ! Tolong !!”
Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bias
menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang. “Tolong ! Tolong hentikan kudaku ini ! Ia tidak bisa dikendalikan !”
Mendengar hal itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya.
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat‐cepat menundukkan kepalanya.
“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayah ku . Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan dating ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan. Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang‐orang tentang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba‐Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan dating kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun korma tadi pagi ia tidak bias mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung‐relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saj yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu-khusyunya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun‐embun cinta yang menets-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu. “isak Zahid mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkaMu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada‐Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggungNya. Amin. Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu, cinta-Mu, dan Ridha-Mu.”
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau dating terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bias menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga. Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak
mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek, Kepada Zahid,
Assalamualaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku . Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya. Zahid, Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, Aku akan dating ketempatmu dan kita bias memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah, Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bias dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga. Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga‐bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyak‐banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata‐mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yangmenyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah,”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin‘adhim!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az-Zumar :13)
Afirah, Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat inikecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki‐laki tidak baik, dan laki‐laki yang tidak baik adalah buat Wanita-wanita yang tidak baik (pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan Laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).” Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid.
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt.Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar‐benar larut dalam samudera cinta kepada Allah Swt. Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulankemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau dating melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. secapatnya.
Wassalam
Afirah,
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.